Penyelundupan Hukum
Istilah-istilah
Penyelundupan Hukum
Wetsontduiking istilah Belanda, Fraude a la loi istilah Perancis,Fraus legis istilah Latin, Gesetzesumgehung, das Handlen in fraudem legis istilah Jerman, Frasudulent creation of poin of contacts istilah Inggris, dan Frode alla legge istilah Italia,Merupakan suatu bagian ajaran tersendiri teori umum HPI.
Hubungan penyelundupan hukum dengan ketertiban umum mempunyai hubungan yang erat, keduannya ini bertujuan agar hukum nasional dipakai dengan mengeyampingkan hukum asing. Hukum asing dinyatakan tidak berlaku jika dipandang sebagai penyelundupan hukum.
Perbedaan antara ketertiban umum dan penyelundupan hukum adalah bahwa yang pertama kita saksikan bahwa pada umumnya suatu hukum nasional dianggap tetap berlaku, sedangkan dalam penyelundupan hukum kita saksikan hukum nasional tetap berlaku itu dan dianggap tetap pada suatu peristiwa tertentu saja, yakni karena kini ada seorang yang untuk mendapatkan berlakunya hukum asing telah melakukan suatu tindakan yang bersifat menghindarkan pemakaian hukum nasional itu.
Lembaga penyelundupan hukum dapat juga dilihat dalam hubungannya dengan masalah “hak-hak yang telah diperoleh’ (droit acquis, verkregen rechten). Nyatalah bahwa penyelundupan hukum justru bertentangan dengan hak-hak yang diperoleh, karena pada penyelundupan hukum kaidah-kaidah asing dikesampingkan dan hukum nasional dipergunakan, tetapi pada hak-hak yang telah diperoleh justru hak-hak itu yang telah diperoleh menurut hukum asing diakui dan dihormati oleh hukum nasional sanghakim sendiri.
Contoh-contoha). perkawinan
dalam hal perkawinan misalnya terjadi para pihak mempergunakan berbagai cara penyelundupan hukum untuk dapat melangsungkan perkawinan, kalu tidak memakai cara-cara khusus mereka tidak akan mungkin melakukan perkawinan menurut hukum nasional mereka. Misalnya perkawinan-perkawinan gretna green tanpa izin orang tuan dapat melangsungkan pernikahan. Perkawinan orang indonesia di Penang, dalam prakeknya di indonesia dikenal dengan adanya masa tunggu bagi wanita untuk melagsungkan pernikahan kembali yang telah bercerai sebelum 300 hari lewat. Akan tetapi ada obatnya, ialah pariwisata, sambil berlibur menikah di singapura dimana menurut hukum inggris tidak dikenal jangka waktu menunggu seperti di indonesia.
Contoh dari HATAH internasional.Contoh yang terkenal diberikan oleh Lemaire berkenaan dengan peraturan perkawinan untuk orang indonesia Nasrani. Sebelum berlakunya UU perkawinan yang baru tahun 1974 maka ada perbedaan hukum perkawinan antara masing-masing golongan hukum di indonesia. Perkawinan orang nasrani dengan peraturan sendiri dalam ordonasi peraturan perkawinan indonesia nasrani, sedangkan untuk orang islam dan hukum adat indonesia,
Penyelundupan juga dapat terjadi guna untuk memperoleh kewarganegaraan suatu negara atau untuk mengelakkan bahaya pengusiran atau lain keuntungan-keuntungan tertentu dan sebagainya melalui perkawinan.
Contoh mengenai perceraianDalam yuriprudensi dikenal suatu perkara yang telah minta perhatian karena ada hubungan dengan kejadian di Indonesia. Seorang pria warganegara belanda, telah menikah di cirebon dengan seorang perempuan belanda. Karena hendak bercerai maka pihak suami mencari jalan keluar. Kalau menurut B.W indonesia maka belum cukup alasan, karena hanya dapat menghasilkan suatu putusan hidup terpisah meja dan tempat tidur.
Bab VIIIPilihan Hukum
Pilihan hukum merupakan salah satu ajaran tersendiri di bidang teori umum HPI. Istilah-istilah dalam bahasa lain adalah Parteij autonomie, Parteiautonomie, Parteiverweisung oder kollisionscrechtlichen verweisungsvertrag, Ankniipfung an den parteiwille, Privatautonomie, Heranziehungsvertrag (jerman), Contrat de rattachement, Autonomie de lavolte, Autonomie des parties loi d’autonomie (perancis), Intention of the parties (inggris), Contratto di collagamento (italia).
Istilah Rechtskeuze atau Rechhtswahl atau pilihan hukum menurut hemat kami adalah paling cocok menggambarkan apa yang diartikan dengan istilah itu. para pihak dalam suatu kontrak bebas untuk melakukan pilihan, mereka dapat memilih sendiri hukum yang harus dipakai untuk kontrak mereka. Para pihak memilih hukum tertentu. Mereka hanya bebas untuk memilih, tetapi mereka tidak bebas untuk menetukan sendiri perundang-undangan.
Pilihan hukum merupakan suatu ajaran yang penting, karena dengan demikian kita ini menyinggung salah satu pokok persoalan utama dari seluruh hukum perdata, yaitu arti daripada kehendak manusia untuk bidang hukum. Jadi persoalan pilihan hukum dalam HPI memperlihatkan unsur-unsur falsafah hukum dan di samping itu mengandung pula segi-segi teori hukum, praktek hukum dan politik hukum.
Yang masih dipersoalkan antara para penulis adalah mengenai batas-batas daripada wewenang untuk memilih hukum ini. Pilihan hukum hanya boleh dilangsungkan mengenai bidang hukum kontrak dan juga di sini tidak semua bidang kontrak dapat dilakukan. Tetapi ada pengecualiannya seperti misalnya mengenai kontrak kerja. Disini menurut hemat kami sukar dilakukan pilihan hukum. Persoalan belakangan ini mempunyai hubungan dengan kaidah-kaidah yang bersifat memaksa (dwingend recht). Hukum yang dipilih oleh para pihak menentukan juga kaidah-kaidah memaksa manakah yang berlaku. Disini dibedakan antara berbagai kemungkinan: hukum memaksa dari lex fori, dari lex cotractus.
Persoalan lain adalah apakah segala macam hukum boleh dipilih atau pilihan ini dibatasi kepada hanya sistim-sistim hukum tertentu, yakni yang mempunyai hubungan riil dengan kotrak bersangkutan.
Adapula yang mengemukakan bahwa pilihan hukum hanya terbuka untuk akibat-akibat hukum dari suatu kontrak dan tidak mengenai terciptanya kotrak. Juga ada pendapat yang mengedepankan bahwa pilihan hukum hanya berlaku sepanjang dibolehkan oleh lex fori. Persoalan lain yang dihadapi adalah sifat hukum (rechtskarakter) sebenarnya daripada pilihan hukum. Apakah pilihan hukum merupakan suatu vertrag atau suatu kollisionsnorm. Apakah penunjukan kepada hukum tertentu merupakan suatu kollisions rechtliche verweisung. Jika demikian adanya, maka penunjukan hukum yang dipilih ini berarti termasuk juga sistim HKInya. Hal ini lazimnya tidak diterima dan penunjukan kepada hukum intern dari sistim hukum bersangkutan.
Persoalan lain adalah apakah para pihak boleh memilih lebih dari satu sistim hukum. Dalam prakteknya kita sering ketemukan pilihan yang lebih dari satu ini. Juga merupakan persoalan apakah pilihan hukum ini dapat dilakukan hanya untuk sebagian atau harus untuk keseluruhan daripada perjanjian ini (adanya depecage atau tidak). Persoalan selanjutnya ialah apakah para pihak dapat melakukan pilihan hukum setelah terjadi sesuatu perkara. Persoalan ini dikenal sebagai persoalan pilihan hukum belakang atau pilihan hukum kemudian (rechtskeuze achteraf), kemuadian ini dapat dirubah kemudian dan apakah yang akan merupakan hukum jika hukum yang telah dipilih, kemudian berubah.
Persoalan pilihan hukum mempunyai hubungan erat dengan masalah ketertiban umum dan juga dengan lain-lain persoalan yang termasuk bidang teori-teori umum HPI seperti dengan penyelundupan hukum, revoi, kwalifikasi. Ketertiban umum merupakan suatu rem darurat yang dapat menghentikan diperlakukannya hukum asing. Juga ketertiban umum merupakan suatu rem darurat terhadap pemakaian otonomi para pihak secara terlampau leluasa. Ketertiban umum menjaga bahwa hukum yang telah dipilih oleh para pihak adalah tidak bertentangan dengan sendi-sendi asasi dalam hukum dan masyarakat sang hakim.
Ada hubungan yang jelas antara penyelundupan hukum dan pilihan hukum. Pada penyelundupan hukum sang individu mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah dibuat olehnya sendiri. Pilihan hukum tidak diadakan pilihan antara mengikuti undang-undang atau mengikuti jurusan yang telah dibuatnya sendiri. Pada pilihan hukum jalan yang ditempuh ialah memilih di antara stelsel-stelsel hukum yang berlaku bagi negara-negara bersangkutan. Pada penyeludupan hukum kita saksikan satu proses yang dapat dinamakan unechte rechtswahl (pilihan hukum yang tidak sebenarnya). Titik-titik pertalian bersifat obyektif seperti misalnya kewarganegaraan (lex partriae), domicilie (lex domicilie), tempat letaknya benda (lex rei sitae), tempat kontrak dilangsungkan (lex loci contractus) dan sebagainya.
Pilihan hukum harus dilakukan secara bonafide, tidak ada khusus memilih sesuatu tempat tertentu untuk maksud menyelundupkan peraturan-peraturan lain.
Ada empat (4) macam pilihan hukum yang dikenal dalam pembacaan HPI yakni pilihan hukum secara tegas, pilihan hukum secara diam-diam, pilihan hukum yang dianggap, dan pilihan hukum secara hypothetisch.
Alasan-alasan pro prisip pilihan hukum: Alasan bersifat falsafah, alasan bersifat praktis, alasan kepastian hukum dan alasan kebutuhan hubungan lalu lintas internasional.
Alasan-alasan mereka yang anti prinsip pilihan hukum: alasan circulus vituosus menurut pandangan ini harus ada suatu hukum objektiv yang menguasai perjanjian tentang pilihan hukum, alasan hukum intern memaksa harus pula internasional memaksa, alasan tidak adanya hubungan dengan hukum yang dipilih, dan pilihan hukum merupakan perbuatan a-sosial.
Kesimpulan kami adalah bahwa untuk hubungan HPI pun dikenal prinsip kebebasan pilihan hukum oleh para pihak, dan adalah sebaliknya kiranya sebagai harapan dicantumkan disini agar pembuat undang-undang hukum nasional dapat menegaskan prinsip kebebasan memilih hukum di bidang hukum kontrak dalam sistim HPI Indonesia yang terkondifikasi.
Pilihan hukum hanya dibenarkan dalam bidang hukum perjanjian. Tidak dapat diadakan pilihan hukum di bidang hukum kekeluargaan misalnya. Hukum kekeluargaan ialah demi kepentingan seluruh masyarakat dan keluarga tidak dipandang sebagai suatu wirtschaftseinheit maka kiranya berada di luar bidang pilihan hukum. Ini adalah pandangan para sarjana sosialis yang menurut pendapat kami pun dapat diterima.
Dalam istilah kita perjanjian-perjanjian di bidang kaidah-kaidah yang bersifat super memaksa yang diadakan oleh pemerintah untuk mengatur hukum perdata dengan ciri-ciri hukum publik. Kebebasan untuk memilih hukum dibatasi. Sebaiknya memang dibatasi kebebasan untuk memilih hukum di bidang kontrak ini. Dalam rangka ini ada yang dikemukakan bahwa sistem hukum yang mempunyai hubungan dengan kontrak bersangkutan yang dapat dipilih. Sistim hukum yang mempunyai suatu yanag dapat dipilih dengan itikad baik oleh para pihak.
Ada pembatasan lain, yaitu perbedaan paham terdapat apakah pilihan hukum ini dapat pula mengenai terciptanya perjanjian atau hanya mengenai akibat-akibat dan pelaksanaan dari perjanjian ini. Menurut hemat kami perlu untuk mengadakan pemisahan yang tegas antara kaidah-kaidah mengenai terciptanya sesuatu perjanjian (sah atau tidaknya perjanjian) dan kaidah-kaidah mengenai akibat-akiu tidakbat hukum atau pelaksanaan dari perjanjian ini. Persoalan mengenai sah atau tidaknya suatu perjanjian takluk pada prinsip pemilihan hukum. Yang hanya dapat dipilih adalah hukum mengenai akibat-akibat dan pelaksanaan dari perjanjian.
Apakah menurut hukum sudah terjadi suatu kontrak atau belum kami anggap tidak termasuk wewenang para pihak untuk menentukan sendiri karen, soal-soal ini dianggap bersifat orde public dan berada di luar kemampuan untuk memilih. Jika hal yang sebaliknya diterima, maka benar-benar akan terjadi apa yang dinamakan circulus vituosis yaitu hukum yang menentukan sah atau tidaknya kontrak adalah hukum yang telah dipilih oleh para pihak. Tetapi untuk mengetahui apakah benar-benar telah terjadi suatu kontrak atau tidak, perlu ditentukan lebih dahulu apakah para pihak berhak untuk melakukan pilihan hukum atau tidak.
Persoalan yang lain adalah apakah boleh memilih lebih dari satu sistim hukum. Emnurut hemat kami memang boleh memilih dari satu hukum: pembagian yang dimufakati (vereinbarte spaltung), pilihan hukum alternatif, pilihan hukum selektif.
Bab IX Hak-hak yang telah diperoleh
Hak-hak yang telah diperoleh verkregen rechten (belanda), droit acquis (Perancis), vested rights acuired rights (inggris)wohlerworbene rechte erworbene rechts (jerman), ius quesitum iura quesita (latin), istilah Indonesia lainnya adalah pelanjutan keadaan hukum. Istilah hak atau recht, right, droit biasanya berarti hak hukum, baik subyektif dan orang terutama teringat pada hak-hak yang bersifat kebendaan vermogensrechten. Tetapi dalam HPI dengan istilah verkregen rechten diartikan bukan saja hak-hak bersifat kebendaan tetapi juga hak-hak kekeluargaan dan status personil.
Istilah hak yang telah diperoleh sudah lama diterima dan ingeburgerd oleh karena itu demi kelancaran secara praktis, tetap kami mempergunakannya, seperti juga kami tetap memakai istilah HPI, sedangkan menurut pandangan kami istilah HATAH extern adalah lebih cocok.
Untuk HPI istilah hak-hak yang diperoleh ini dipakai untuk mengedepankan bahwa perubahan dari fakta-fakta, tidak akan mempengaruhi berlakunya kaidah yang semula dipakai.
Masalah hak-hak yang diperoleh berhubungan erat dengan masalah ketertiban umum. Dikatakan hak-hak yang diperoleh ini justru adalah sebaliknya dari ketertiban umum. Dalam ketertiban umum hukum perdata nasional sang hakim yang dipakai sedangkan menurut kaidah-kaidah HPI sang hakim sendiri kaidah-kaidah hukum perdata asing yang harus dipergunakan.
Di negara-negara anglo saxon, diperkembangkan ajaran tentang vested rights ini. Hak-hak yang telah diperoleh di luar negeri diakui. Bukan saja berdasarkan alaan comity atau courtoisie, tetapi juga berdasarkan alasan-alasan menghindarkan inconveniesces dan adanya keharusan.
Perkembangan di Netherland, hak-hak yang telah diperoleh lebih banyak harus dilihat sebagai suatu azas hukum yang telah memberikan inspirasi kepada pembuat undang-undang daripada suatu kaidah hukum yang tersendiri. Pengakuan daripada status personil orang asing, pemakaian daripada lex rei sitae, untuk barang-barang, pengkuan daripada sahnya suatu perbuatan yang sesuai dengan syarat-syarat formil dinegeri, semua ini boleh dianggap disandarkan kepada asas hak-hak yang telah diperoleh. Asas ini dapat dianggap tetap tersirat dalam kaidah-kaidah hukum bersangkutan tadi.
Perkembangan di Indonesia mengenai hak-hak yang diperoleh, dalam bukunya tentang hukum perdata internasional, bekas ketua mahkamah agung RI, Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa hak-hak yang diperoleh perlu diterima pula. Istilah yang dikemukakan beliau adalah pelanjutan keadaan hukum. Dalam ketentuan pasal 16 A.B. jo pasal 3 A.B. yang menganut prinsip nasionalitas, menurut beliau dapat dilihat adanya unsur-unsur pelanjutan keadaan. Seolah prinsip-prinsip pelanjutan keadaan hukum atau penghormatan terhadap hak-hak yang telah diperoleh termasuk pula dalam peraturan tertulis yang berlaku di Indonesia. Satu dan lain karena dalam pasal 16 A.B. ini dipergunakan kata blijven verbindend dari peraturan-peraturan mengenai status dan wewenang warganegara Indonesia yang berada di luar negeri.
Bab X Persoalan PendahuluanPersoalan pendahuluan atau dalam bahasa asing vorfrage inzident frage (jerman), question prealable, preliminaire, incidente ou prejudicielle (perancis), preliminary, subsequent, incident question (inggris), prealablele of voorvraage (belanda), merupakan bagian teori umumHPI yang diwaktu akhir ini telah memperolah banyak perhatian para sarjana.
Apa yang diartkan dengan istilah persoalan pendahuluan, keputusan terakhir dari persoalan yang diajukan dihadapan hukum suatu negara tergantung dari pemecahan terlebih dahulu daripada suatu persoalan lain. Persoalan ini yang dinamakan persoalan pendahuluan. Persoalan ini harus dipecahkan terlebih dahulu ini tampil kemuka jika dalam persoalan poko (hauptfrage) yang diajukan dihadapan hakim telah menjadi pasti hukum manakah yang harus dipergunakan dalam menyelesaikan persoalan pokok ini. Hukum yang dipastikan ini bukan merupkan hukum sang hakim sendiri, melainkan hukum asing. Penegertian-pengertian dalam HPI huku asing bersangkutan ini, ternyata membawa hasil yang lain daripada pengertian-pengertian HPI forum sang hakim. Secara materiil pun pengertian dalam kedua sistem hukum yang sedang dipandang ini berlainan isinya.
Persoalan pendahuluan yang harus dibedakan dari persoalan bagian adalah persoalan HPI mengenai hukum materiil manakah harus dipergunakan atas suatu hubungan hukum, yang dalam peristiwa tertentu nampak sebagai bagian dari pada keputusan hukum mengenai persoalan pokok walaupun dalam sistim HPI dari forum, hal ini berdiri sendiri. Contoh-contoh dapat menjelaskan hal ini;
Perkawinan; misalnya kita hadapi persoalan HPI tentang warisan. Menurut HPI Indonesia warisan diatur menurut hukum nasional si pewaris. Seorang warganegara junani telah meninggal di Indonesia dan meninggalkan harta benda, maka persoalan warisannya harus diselesaikan menurut hukum junani. Ia telah menikah dengan seorang perempuan bukan junani, perkawinan mana dilangsungkan di luar negeri junani dan hanya di hadapan pegawai catatan sipil belaka, tanpa di gereja. Menurut hukum junani perkawinan demikian adalah tidak sah. Kalau dipakai hukum junani maka sang janda tidak akan menerima apa-apa. Sebaliknya jika dipakai hukum Indonesia, maka perkawinan tesebut adalah sah.
Dalam contoh ini persoalan warisan adalah persoalan pokok, sedangkan pertanyaan mengenai sah tidaknya perkawinan antara si pewaris junani dengan perempuan bersangkutan adalah persolan pendahuluan. Persoalan mengenai status sang perempuan ini harus terlebih dahulu diselesaikan sebelum dapat diambil keputusan dalam perkara warisan bersangkutan. Persoalan ini adalah prealable karenanya dinamakan persoalan pendahuluan.
Ada dua jalan untuk menyelesaikan masalah persoalan pendahuluan ini; pertama, bahwa setelah diketemukan bahwa atas persoalan pokok tentang warisan harus dipergunakan hukum junani, maka persoalan sah tidaknya perkawinan juga ditentukan menurut lex causae itu. Lex causae ini dipandang sebagai concept de carde atau kaderwet. Kedua, jalan kedua ialah bahwa dengan tidak mengindahkan lex causae, maka hakim Indonesia akan dipergunakan HPInya sendiri yaitu HPI dari lex fori untuk menentukan persoalan pendahuluan tentang sah tidaknya perkawinan itu.
Pembatasan dari persoalan pendahuluan terhadap lain-lain persoalan yang berdekatan.Terhadap Teilfragen
Tidak perlu seluruh hubungan hukum yang tersangkut tetapi cukup jika hanya bagian-bagian mutlak (begriffsnotwendige bestandteile). Begriffsnotwendige bestandteile merupakan bagian-bagian dari persoalan pokok.
Terhadap kwalifikasiKwalifikasi primer adalah masukkan fakta-fakta dalam kotak-kotak hukum. Seorang penumpang kapal terbang misalnya telah membeli karcis dan waktu mendarat dari Jakarta ke Singapura telah mengalami kecelakaan disebabkan kesalahan sang pilot. Apakah tuntutan yang diajukan dihadapan pengadilan negeri Jakarta terhadap maskapai penerbagangan garuda Indonesia Airways adalah berdasarkan kontrak pengangkutan yang mensyaratkan supaya pengangkutan ini dilkukan secara aman. Atau sebaliknya persoalan ini termasuk tuntutan berdasarkan perbuatan melanggar hukum yang telah terjadi di luar negeri. Masalah ini adalah kwalifikasi primer yaitu memasukkan fakta-fakta dari peristiwa bersangkutan ke dalam kategori hukum. Setelah dilakukan primary clasification ini, maka dapat ditentukan pilihan akan hukum dipergunakan berdasarkan titik-titik pertalian dalam peristiwa bersangkutan.
Mengenai kwalifikasi sekunder kita saksikan bahwa baru kemudian setelah hakim melakukan pilihan hukum yang dipakainya, harus ditentukan berapa banyak dan secara manakah dia harus mempergunakan hukum asing. Pada kwalifikasi sekunder kita menghadapi masalah pembatasan daripada hukum yang telah dipilih sebagai yang berlaku, yaitu berkenan suatu hal yang bersifat tergantung (subsidier), kemudian essentially subordinate or subsidiarly pada kwalifikasi primer yang sudah dilakukan. Misalnya telah kita lakukan kwalifikasi secara primer bahwa perbuatan tertentu termasuk pengertian kontrak. Persoalan tentang wewenang bertindak dalam hukum, hanya timbul sebagai persoalan yang tergantung dari adalah subsidier pada kwalifikasi primer mengenai kontrak. Inilah kwalifikasi sekunder atau kwalifikasi subsidier, karena persoalan ini tidak mungkin timbul secara berdiri sendiri. Munculnya hanya sebagai persoalan subsidier tidak ada penentuan kwalifikasi primer yang mendahului. Sebaliknya persoalan legitimacy yang kita saksikan tampil di atas kekuatan sendiri tanpa terlebih dahulu dilakukan suatu kwalifikasi primer. Persoalan-persoalan ini mempunyai kaidah-kaidah HPInya sendiri dan kaidah-kaidah HPI ini bisa berlainan dalam sistem-sistem hukum yang berbeda.
Pentingnya persoalan pendahuluanAda perbedaan pendapat antara para sarjana mengenai penting tidaknya persoalan ini. Ada yang menganggap sebagai salah satu masalah fundamental dalam HPI “one of the fundamental problems in the conflict of law”. Katanya masalah vorfrage mempunyai hubungan erat dengan pertentangang-pertentangan asasi dalam teori-teori HPI.
Persoalan-persoalan pendahuluan dalam praktek jarang terjadi dan hakim pun tidak sering mempertimbangkannya. Hal ini disebabkan karena harus ada tiga syarat yang dipenuhi sebelum tampil persoalan pendahuluan ini; bahwa dalam suatu persoalan HPI harus dipergunakan hukum asing, bahwa HPI asing bersangkutan harus lain hasilnya daripada kaidah-kaidah HPI forum sang hakim, bahwa kaidah materiil dari kedua stelsel bersangkutan juga harus berbeda adanya.
Perbedaan pendapat yang terutama adalah apakan untuk persoalan pendahuluan ini harus dipakai lex fori atau lex causae. Mereka yang mengatakan lex cause harus dipakai melihat bahwa persoalan pendahuluan harus diselesaikan menurut hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan pokok. Mereka ini memakai titik taut yang tergantung pada lex causae suatu afhankelijke aanknoping. Sebaliknya aliran kedua mengatakan HPI dari lex fori yang dipakai untuk persoalan pendahuluan. Ini adalah aliran titik taut yang berdiri sendiri zelfstandige aanknoping.
Aliran pertama yang mengedepankan lex causae adalah aliran yang merupakan heersende leer tetapi pendukung-pendukung dari kedua aliran ini dapat dianggap sebenarnya sama. Aliran kedua, les foristes dapat disebut di antaranya sarjana-sarjana.
Aliran-aliran yang pro lex causaeMereka yang pro lex causae mengatakan bahwa pendirian mereka inilah adalah sesuai dengan tercapainya harmoni keputusan-keputusan dalam bidang HPI.